Jelantah Mengalir sampai ke Eropa

Jelantah yang dulu dianggap limbah ternyata sekarang laku di pasaran Eropa. Seiring meningkatnya tren ”ramah lingkungan” di benua itu, nilai ekspor jelantah pun terus naik dua tahun ini.

Para pekerja di salah satu gudang pengumpul besar jelantah di Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (26/2/2020), menyaring jelantah yang didapatkan dari berbagai sumber, seperti pabrik makanan dan minuman, restoran, serta pedagang kaki lima. Dalam sehari, gudang bisa menampung 5-7 ton jelantah yang selanjutnya akan dijual ke eksportir jelantah.

JAKARTA, KOMPAS — Nilai ekspor limbah minyak goreng atau jelantah ke Eropa terus meningkat di tengah rencana pembatasan Uni Eropa terhadap produk minyak sawit dari Indonesia. Harganya yang semakin menggiurkan menggerakkan mata pencarian baru. Sementara nilai ekspor industri sawit justru menurun meskipun masih jauh lebih besar dari jelantah.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, total ekspor minyak jelantah dengan Harmonized System (HS) Code Used Cooking Oil (UCO) Indonesia pada 2019 mencapai 37,31 juta dollar AS (Rp 541,11 miliar). Angka ini tumbuh 43,7 persen dibandingkan dengan nilai pada 2018 sebesar 25,96 juta dollar AS.

Dari sisi volume, total ekspor jelantah Indonesia pada 2019 mencapai 71.838 ton, naik dari 2018 yang sebesar 48.571 ton. Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dikutip Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), nilai ekspor produk sawit pada 2019 sebesar 19,24 miliar dollar AS atau turun 12,8 persen dari nilai pada 2018 sebesar 22,08 miliar dollar AS kendati dari sisi volume naik sebesar 3,4 persen. Penurunan nilai terjadi karena penurunan harga.

Belanda menjadi tujuan ekspor jelantah terbesar dengan persentase 34,03 persen dari seluruh ekspor jelantah, yakni 13,46 juta dollar AS (Rp 195,17 miliar), dengan volume 24.449 ton. Selain ke Belanda, Indonesia juga tercatat melakukan ekspor jelantah ke negara Eropa lain, yakni Inggris, Polandia, dan Lituania.

Suasana di salah satu gudang pengumpul besar jelantah di Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (26/2/2020). Dalam sehari, gudang bisa menampung 5-7 ton jelantah yang dikumpulkan baik dari pabrik makanan dan minuman, restoran, hingga pedagang kaki lima. Jelantah yang terkumpul selanjutnya dijual ke eksportir dengan harga sekitar Rp 9.000 per liter.

Selain di ekspor ke negara-negara Eropa, jelantah Indonesia juga diekspor, antara lain, ke Malaysia, Korea Selatan, China, Brasil, dan Filipina. Setidaknya terdapat 10 perusahaan pengekspor jelantah yang terdaftar di Kementerian Perdagangan.

Dua pintu ekspor terbesar adalah Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur, dan Tanjung Priok di Jakarta Utara. Sumber jelantah mulai dari warung, restoran, katering, hotel, restoran berjaringan, dan industri makanan. Penghasil jelantah dalam volume besar, seperti industri makanan dan restoran berjaringan, biasanya sudah mempunyai kontrak jual-beli jelantah dengan perusahaan eksportir atau pengepul besar.

Direktur Utama CV Artha Metro Oil Setiady mengatakan, perusahaannya sudah mengekspor jelantah sejak 2013. Tujuan ekspornya, antara lain, Belanda, Jerman, Inggris, Malaysia, dan Korea Selatan. Dalam setahun perusahaan yang beralamat di Sidoarjo, Jawa Timur, itu bisa mengekspor 10.000-15.000 ton. ”Di Eropa digunakan untuk bahan baku biodiesel,” katanya.

CV Artha Metro Oil memperoleh jelantah dari jaringan restoran siap saji, antara lain McDonald dan KFC, juga dari mitra pengumpul jelantah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Ekonomi baru

Rantai jelantah di Jabodetabek dimulai dari pengumpul jelantah yang berkeliling dari warung ke warung. Jelantah yang terkumpul lalu disalurkan ke pengepul kecil, ke pengepul sedang, besar, dan berakhir di eksportir sebelum dikapalkan.

Rano Rusdiana (35), pengumpul jelantah tingkat sedang di kawasan Cipayung, Jakarta Timur, memulai usaha pengumpulan jelantah ini sekitar tahun 2012. Awalnya ia merupakan sopir truk ekspedisi minyak goreng yang kerap berhubungan usaha dengan katering dan restoran.

Saat ini, ia mengumpulkan jelantah dari PKL, warung, hingga waralaba restoran tingkat sedang. Usahanya terus membesar. Dari satu armada, sekarang ia sudah mempunyai empat armada pengangkut.

Tahun ini, targetnya adalah 60 ton jelantah per bulan. Volume ini terus bertambah dari awal ia memulai yang tak sampai 0,5 ton sebulan. Rano mengambil keuntungan dari selisih harga beli dengan harga jual. Ia biasanya membeli jelantah dengan harga Rp 3.500-Rp 5.000 per kg dan bisa menjualnya lagi Rp 6.000 per kg ke eksportir.

Tumpukan jeriken jelantah di salah satu gudang pengumpul besar jelantah di Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (26/2/2020). Dalam sehari, gudang bisa menampung 5-7 ton jelantah dari berbagai sumber, seperti pabrik makanan dan minuman, restoran, serta pedagang kaki lima, yang selanjutnya akan dijual ke eksportir jelantah.

Harga jelantah terus naik. Lonjakan harga tertinggi terjadi saat isu Eropa membatasi minyak sawit mentah (CPO) dari Indonesia sekitar tiga bulan terakhir. ”Ini saya sebenarnya merasa aneh, kenapa CPO malah dibatasi, tetapi, kok, permintaan jelantah semakin tinggi,” ujarnya.

Gudang jelantah CV Slamet Widodo di Kabupaten Tangerang menerima 7,5 ton sehari atau sekitar 225 ton sebulan. Truk-truk yang mengantar jelantah terlihat keluar masuk tiada henti sepanjang siang. ”Kami terima jelantah dari Jabodetabek, Palembang, Lampung, dan Bandung,” kata pemilik usaha Slamet Widodo.

Di sana, jelantah dipanaskan dan disaring dari kotoran padat. Slamet menjual jelantah Rp 9.300 per kg. Menurut dia, harga jelantah akan terus meningkat karena semakin tingginya permintaan dari Eropa. Bahkan, saat ini, harga dari eksportir ke perusahaan pengolah biofuel di Eropa bisa mencapai lebih dari Rp 10.000 per kg.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Maxensius Tri Sambodo.

Tren Hijau

Peneliti Bidang Industri dan Perdagangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Maxensius Tri Sambodo, mengatakan, ekonomi tetap menjadi faktor utama Eropa tertarik membeli jelantah dari Indonesia karena harganya lebih murah dari CPO.

Selain itu, juga dari kuatnya tekanan politik, lingkungan, serta partai buruh dan petani di sana seiring meningkatnya kesadaran akan teknologi ramah lingkungan dan keberpihakan pada buruh dan petani.

”Saat ini kesadaran terhadap teknologi ramah lingkungan sedang menguat di sana ditambah partai buruh dan petani yang menyuarakan perlindungan buruh dan produk pertanian mereka. Dengan jelantah, artinya tetap ada pengolahan menjadi biodiesel, artinya ada nilai tambah serta menyerap tenaga kerja di sana dan melindungi produk pertanian lokal mereka,” ujar Max.

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan, ekspor jelantah Indonesia ke Eropa sah-sah saja. Sebab, Uni Eropa hanya menolak ekspor minyak kelapa sawit mentah dalam bentuk biofuel atau minyak sawit mentah untuk biofuel. Adapun ekspor hasil olahan kelapa sawit untuk keperluan lain, seperti industri makanan dan kosmestik, tak terganggu.

 

Salah satu bagian instalasi pembuatan biodiesel di Laboratorium Biodiesel dan Proses Katalitik, Puslitbangtek Lemigas, Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (6/3/2020). Pada 2018, laboratorium ini pernah menguji coba pembuatan biodiesel berbahan baku 5.000 liter jelantah. Namun, penelitian tidak berlanjut karena kesulitan mendapatkan bahan baku.

Dalam kunjungannya, Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Pengembangan Koperasi Belanda Sigrid Kaag mengatakan belum memiliki data detail mengenai impor jelantah dari Indonesia. Menurut dia, Belanda tetap akan bekerja sama dengan Indonesia untuk memproduksi kelapa sawit secara berkelanjutan.

Sigrid tak menampik ada kekhawatiran yang beralasan dari Uni Eropa serta dunia internasional terhadap produksi minyak kelapa sawit yang berkontribusi terhadap polusi dan deforestasi. Namun, ia yakin ada solusi alternatif yang bisa ditempuh tanpa merugikan Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar minyak kelapa sawit.

”Kami terus berdiskusi dengan UE untuk membahas bagaimana cara terbaik melalui transisi ini agar lebih adil untuk Indonesia,” ujarnya.

Potensi dalam negeri

Ketua Umum Asosiasi Pengumpul Minyak Jelantah untuk Energi Baru Terbarukan Indonesia (Apjeti) Matias Tumanggor mengatakan, besarnya ekspor jelantah Indonesia keluar negeri menunjukkan, Indonesia belum bisa memanfaatkan potensi dalam negeri.

Menuru diaa, jelantah seharusnya bisa dimanfaatkan untuk biodiesel di dalam negeri. ”Sekarang ini kita baru menjadi pemulung, yaitu mengumpulkan dan menjual ke luar saja,” katanya.

Padahal, pemanfaatan jelantah untuk biodiesel, menurut Max, berpotensi mengurangi tekanan perluasan kebun sawit yang menjadi sumber kritik Eropa terhadap sawit Indonesia karena dinilai merusak lingkungan. ”Tentunya ini akan menjadi citra baik bagi sawit kita,” katanya. (NIA/BKY/IRE)

IRENE SARWINDANINGRUM / BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA / KURNIA YUNITA RAHAYU
Editor: Andy Riza Hidayat

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *